HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL ZINA
1.Pendapat Mayoritas Ulama
Jumhur Ulama
kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat Imam
Abu
Hanifah, Syafi’I, Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri,
dll.
- Abu Hanifah dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun mereka melarang persenggamaan antara suami istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.
- As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan. Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan: hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir) berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.
Imam
Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya
- Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain
2. Pendapat Kompilasi Hukum Islam (K.H.I)
Indonesia
Setelah
memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala
aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH
MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:
- Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas segala pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
- Pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat dan dilindungi hukum.
- Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan keluarga besarnya dan menutupnya dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut
Maka
K.H.I (Kompilasi Hukum Islam) Indonesia menetapkan KEABSAHAN pernikahan
antara seorang laki-
laki dengan wanita YANG TELAH HAMIL ZINA, dan menuangkannya pada BAB VIII pasal
53 ayat 1- 3 , yaitu:
1. Seseorang
wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
2.
Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Status Anak dari HAMIL ZINA
Adapun
anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat
ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
1.
Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH
setelah
perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada SUAMI yang telah mengawini ibunya itu.
2. Bila
anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua
orang tuanya, maka nasab anak
tersebut adalah IBUNYA.
- Bila anak terlahir Perempuan setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan
- Terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
Ada
beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa
kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa
kepada keputusan Nabi seperti kasus
persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti
apa yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah
yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki,
dimana Nabi
dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA
MELIHAT UMUR KEHAMILAN) adalah anak SUAMINYA YANG
SAH,
SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut
diatas dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
“Anak itu
dinasabkan kepada SUAMI IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia
harus dihukum (dera/rajam)”. (Hadist riwayat Jama’ah ahli hadist terkecuali Turmudzi)
Hal ini
bersesuaian dengan:
- Pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid Al- Abyani yang menyatakan bahwa:
Batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6 bulan.
- Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari Surat Al- Ahqaaf 15 dan Surat Luqman ayat 14.
Menurut Surat Al- Ahqaaf 15, waktu mengandung dan
menyapih = 30 bulan
Menurut Luqman 14, waktu menyapih =……………………………..= 24 bulan(-)
Jadi waktu hamil minimal =
………………………………………….= 6 bulan
Sesuai
dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari PERNIKAHAN,
bukan
dari mulainya
hubungan seksual diantara kedua orang tua biologisnya.
Keterangan:
Dasar- Dasar Hukum
1. Firman
Allah :
- Para penzina laki- laki itu tidak (boleh) kawin kecuali dengan penzina wanita atau para wanita musyrik, dan para penzina wanita itu tidak (boleh) nikah kecuali dengan penzina laki- laki atau laki- laki musyrik. Dan diharamkan semuanya itu bagi orang- orang mu’min. (QS.An-Nur (24) : 2)
- Wanita- wanita tak bermoral itu pasangannya adalah laki- laki tak bermoral, sebaliknya laki- laki tak bermoral itu pasangannya adalah para wanita tak bermoral (QS. An-Nur (24) : 26)
- Dan Nikahkanlah orang- orang yang sendirian dari kamu sekalian dan hamba- hamba sahaya pria kalian yang sholih- sholih dan (juga) sahaya- sahaya wanita kalian (Q.S.An-Nur (24): 32).
2.
Hadist
- Barang siapa ber-iman kepada Allah dan Rasulnya, maka janganlah ia “mengairi dengan air (mani) nya pada tanaman (janin) orang lain (Yusuf bin Ismail Al- Nabhani Al- Fath al- Kabir (Dar Al- Arqom, Beirut).
- Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk mengairi (dengan air mani) , tanaman (janin) orang lain”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)
- Dari A’isyah RA, Rasululloh ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang wanita dan dia bermaksud menikahinya. Maka Rasululloh menjawab: ” Awalnya adalah kumpul kebo (SIFAAH) dan akhirnya adalah sebuah pernikahan. Sesungguhnya perbuatan haram itu tidak dapat menghalangi terjadinya (pernikahan) yang halal”. (H.R.At- Thobarony dan Ad- Daaruquthniy)
- Dari Abu Hurairoh RA, Rasululloh bersabda: “Anak itu (dinasabkan) kepada Suami ibunya, sedang si penzina harus dihukum (dera/ rajam)”. Lihat Subulus Salam III/ 210.
Sumber:
- Dr. Mulkhlisin Muzarie, Ro’is Aam Tanfidhiyyah DPP Jama’ah Rifa’iyyah. “Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil”
- http://tanbihun.com/fikih/kontroversi-hukum-pernikahan-dengan-wanita-hamil-zina/#.UEAD66N_Bvg
0 komentar:
Posting Komentar