PERNIKAHAN 'URFY/ SIRRI (Bawah Tangan)
Pernikahan ‘urfy atau bawah tangan adalah menikah
dengan semua rukun dan syarat nikah telah
terpenuhi, dan akad
nikah sudah dilaksanakan.
Menurut syariat Islam, akan tetapi belum punya bukti tertulis dari pejabat yang berwenang
dalam artian belum tercatat di pemerintahan dan departemen agama (KUA),
sehingga menikah semacam ini tidak mempunyai bukti otentik yang syah di dalam
hukum negara.
Menurut H Erma S Tarigan (wartawati/praktisi hukum di Medan),
pernikahan bawah tangan/siri meski memenuhi rukun nikah dan sah secara
agama tapi tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Karenanya hukum negara
tidak mengakui adanya perkawinan bawah tangan/Siri, tidak ada hubungan
hukum satu sama lain maka tidak ada hubungan waris (berdasar hukum negara),
sedang berdasar hukum Islam tetap ada hubungan waris.
Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak
mengenal istilah kawin bawah tangan dan semacamnya dan tidak
mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis,
istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap
dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya
tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
"Dilihat dari undang-undang, hukum nikah sirri
adalah pelanggaran alias batal demi hukum," tandas Nurul Huda yang menuliskan
pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas, Illegal Wedding. Dari
Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007). Alasan Nurul
Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengatur mengenai perkawinan.
Di dalam undang-undang itu disebutkan:
Di dalam undang-undang itu disebutkan:
“perkawinan harus dicatatkan pada KUA”.
Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi,
dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk
ijtihad ulama Indonesia Ketika produk hukum
negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk
itu menjadi produk syariat juga. Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur
pencatatan untuk perkawinan, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar
pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila
untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk
urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan pengasuhan anak, dan hak waris.
Dampak
Pernikahan ‘Urfy / Sirri (Bawah Tangan)
a. Terhadap Istri
Perkawinan
bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun sosial.
Secara hukum:
-Anda tidak dianggap sebagai istri sah;
-Anda tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami
jika ia meninggal dunia;
-Anda tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan,
karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;
Secara sosial:
Anda akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang
melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo)
atau anda dianggap menjadi istri simpanan
b. Terhadap Anak
Sementara
terhadap anak, tidak sahnya pernikahan bawah tangan menurut hukum negara
memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
"Status
anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, anak diluar nikah"
Konsekuensinya,
anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak
mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43
UU Perkawinan, pasal 100 KHI).
Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
c. Terhadap Laki-laki atau Suami
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan
bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang
perempuan.
Yang terjadi
justru menguntungkan dia, karena: Suami
bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah
tangan dianggap tidak sah dimata hukum Suami bisa berkelit dan menghindar dari
kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan
dan lain-lain
Hal yang Harus Dilakukan Apabila Perkawinan Bawah Tangan sudah Terjadi
a. Bagi yang Beragama Islam
1. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan
dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 7).
Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila
berkenaan dengan:
a. dalam
rangka penyelesaian perceraian;
b. hilangnya akta nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan;
e.perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU
No. 1/1974.
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian Pengadilan Agama perceraian.
Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.
Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat.
Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
2. Melakukan
Pernikahan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut
agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai
dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan
(KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status
bagi perkawinan anda.
Status anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan:
- akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin.
- sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.
b. Bagi yang beragama non-Islam
1.
Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan
Perkawinan
ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat,
bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus
dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan
Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan
Tata Usaha Negara).
2.
Pengakuan anak
Jika dalam
perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak.
Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya,
pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu
maupun bapak.
Berdasarkan
pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan:
“bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang
baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak”.
Namun
bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan ibu,
sebagaimana
diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.
“ Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, pernikahan
bawah tangan anda dianggap tidak syah oleh Negara”
“Pernikahan
bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan anda dan
anak anda” [LBH-APIK]
by: RA
Sumber:internet
by: RA
Sumber:internet
0 komentar:
Posting Komentar