Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 11 Agustus 2012

Pernikahan Sirri

PERNIKAHAN 'URFY/ SIRRI (Bawah Tangan)


Pernikahan ‘urfy atau bawah tangan adalah menikah dengan semua rukun dan syarat nikah telah terpenuhi, dan akad nikah sudah dilaksanakan. 

Menurut syariat Islam, akan tetapi belum punya bukti tertulis dari pejabat yang berwenang dalam artian belum tercatat di pemerintahan dan departemen agama (KUA), sehingga menikah semacam ini tidak mempunyai bukti otentik yang syah di dalam hukum negara. 

Menurut H Erma S Tarigan (wartawati/praktisi hukum di Medan), pernikahan bawah tangan/siri  meski memenuhi rukun nikah dan sah secara agama tapi tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Karenanya hukum negara tidak mengakui adanya perkawinan bawah tangan/Siri,  tidak ada hubungan hukum satu sama lain maka tidak ada hubungan waris (berdasar hukum negara), sedang berdasar hukum Islam tetap ada hubungan waris. 

Jadi nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).

Sistem Hukum Indonesia  

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin bawah tangan dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. 

Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
"Dilihat dari undang-undang, hukum nikah sirri adalah pelanggaran alias batal demi hukum," tandas Nurul Huda yang menuliskan pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas, Illegal Wedding. Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007). Alasan Nurul Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. 

Di dalam undang-undang itu disebutkan:
“perkawinan harus dicatatkan pada KUA
Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi, dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk ijtihad ulama Indonesia Ketika produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu menjadi produk syariat juga. Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan pengasuhan anak, dan hak waris.

Dampak Pernikahan ‘Urfy / Sirri (Bawah Tangan)

a. Terhadap Istri

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.

Secara hukum:

-Anda tidak dianggap sebagai istri sah;
-Anda tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
-Anda tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;

Secara sosial:

Anda akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan

b. Terhadap Anak

Sementara terhadap anak, tidak sahnya pernikahan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:

"Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, anak diluar nikah"
                       
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI)

Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.  

Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya

Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya

c. Terhadap Laki-laki atau Suami

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.

Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena: Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain

Hal yang Harus Dilakukan Apabila Perkawinan Bawah Tangan sudah Terjadi

a. Bagi yang Beragama Islam

1.  Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah

            Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7).

Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:

a. dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. hilangnya akta nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
e.perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. 

Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian Pengadilan Agama  perceraian

Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang. 

Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat

Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.

2. Melakukan Pernikahan  Ulang

Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan anda.

Status anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan:
  • akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin.
  • sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

b. Bagi yang beragama non-Islam

1.  Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan

Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).

2.  Pengakuan anak

Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak.

Berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan:

bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak”.

Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu,

sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.

Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, pernikahan bawah tangan anda dianggap tidak syah oleh Negara

Pernikahan bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan anda dan anak anda [LBH-APIK]

by: RA
Sumber:internet

0 komentar:

Posting Komentar

 

About