Pernikahan Mut’ah (Nikah Kontrak)
Nikah mut’ah adalah nikah
kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah
tersebut bubar tanpa adanya talak.
Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal.
Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam
Dalam hal ini
syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:
وعلى كل فهو حرام ، إنما سمي بذلك لان الغرض منه
مجرد التمتع لا التوالد والتوارث
اللذان هما الغرض الاصلي من النكاح المقتضيان للدوام.
اللذان هما الغرض الاصلي من النكاح المقتضيان للدوام.
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم
وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ
حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم
أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام
تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:
وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج
المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن
عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما
بلغه إكثار الناس منها رجع.
فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله
ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم
الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in
bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini
dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a.,
dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan
dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara
mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika
banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia
merefisi pendapatnya tersebut.
Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un,
demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka),
tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah
kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan
daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali
bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat.
Nikah mut’ah itu sama seperti
bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam
keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian,
pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan
dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat
kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ
عَامَ خَيْبَرَ
(متفق عليه)
(متفق عليه)
“Diriwayatkan
bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika
perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
عَنْ سَلَمَةَ بن الأكوع رضي الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ
أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” (HR. Muslim).
عن رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ
حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (أخرجه مسلم وأبو
داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان)
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ مَتَى وَقَعَ نِكَاح
الْمُتْعَة الْآن حُكِمَ بِبُطْلَانِهِ سَوَاء كَانَ قَبْل الدُّخُول أَوْ بَعْده
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan
Sumber:
Website Internet
0 komentar:
Posting Komentar